Monday, April 27, 2015

RULE OF LAW & HAM

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN



“RULE OF LAW & HAM“




DI SUSUN OLEH :

MELATI DIAH AYUNINGSIH / 15213424
2 EA 20








FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
PTA 2014/2015



BAB I
HAK ASASI MANUSIA


I.  Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) secara tegas di atur dalam Undang Undang No. 39 tahun 1999 pasal 2 tentang asas-asas dasar yang menyatakan “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Pengertian HAM menurut  para ahli :
·         John Locke,  hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
·         Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
·         Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat universal
·         Koentjoro Poerbapranoto ( 1976 ), Hak Asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
·         Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
·         John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencangkup hak hidup,hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Ruang lingkup HAM yang merupakan dasar dari manusia yang senantiasa berubah menurut ukuran zaman dan perumusannya, sebagai berikut :
A.      HAM menurut Piagam PBB tentang Deklarasi Universal of Human Rights 1948, meliputi :
1)      Hak berpikir dan mengeluarkan pendapat.
2)      Hak memilih sesuatu.
3)      Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
4)      Hak menganut aliran kepercayaan atau agama.
5)      Hak untuk hidup.
6)      Hak untuk kemerdekaan hidup.
7)      Hak untuk memperoleh nama baik.
8)      Hak untuk memperoleh pekerjaan.
9)      Hak untuk mendapatkan perlindungan hokum.

B.      HAM menurut UU. No : 39 tahun 1999
1)      Hak untuk hidup,
2)      Hak berkeluarga,
3)      Hak mengembangkan diri,
4)      Hak keadilan,
5)      Hak kemerdekaan,
6)      Hak berkomunikasi,
7)      Hak keamanan,
8)      Hak kesejahteraan, dan
9)      Hak perlindungan.

Ditinjau dari berbagai bidang, HAM meliputi :
a)      Hak asasi pribadi (Personal Rights)
Contoh : hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama.
b)      Hak asasi politik (Political Rights) yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara.
Misalnya : memilih dan dipilih, hak berserikat dan hak berkumpul.
c)       Hak asasi ekonomi (Property Rights)
Misalnya : hak memiliki sesuatu, hak mengarahkan perjanjian, hak bekerja dan hak
mendapat hidup layak.
d)      Hak asasi sosial dan kebuadayaan (Sosial & Cultural Rights).
Misalnya : mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan santunan, hak pensiun, hak
mengembangkan kebudayaan dan hak berkspresi.
e)      Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan Pemerintah (Rights Of
Legal Equality)
f)       Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hokum




II.  Ciri dan Tujuan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia pada dasarnya bersifat umum atau universal karena diyakinibahwa beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. Dasar Hak Asasi Manusia adalah manusia berada dalam kedudukan yang sejajar dan memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai macam aspek untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri pokok hakikat HAM, yaitu sebagai berikut :
a.       HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis
b.      HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik , atau asal usul social dan bangsanya
c.       HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk melanggar dan membatasi orang lain
Tujuan Hak Asasi Manusia
a.       HAM adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesewenang-wenangan.
b.      HAM mengembangkan saling menghargai antar manusia
c.       HAM mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar


III. HAM di Indonesia

            Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku tiga undang-undang dalam 4 periode, yaitu :
*      Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945,
*      Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
*      Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, berlaku UUDS 1950.
*      Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku kembali UUD 1945.
Pencantuman pasal-pasal tentang Hak-hak Asasi Manusia dalam tiga UUD tersebut berbeda satu sama lain. Dalam UUD 1945 butir-butir Hak Asasi Manusia hanya tercantum beberapa saja. Sementara Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 hampir bula-bulat mencantumkan isi Deklarasi HAM dari PBB. Hal demikian ini karna memang situasinya sangat dekat dengan Deklarasi HAM PBB yang masih aktual. Di samping itu terdapat pula harapan masyarakat dunia agar deklarasi HAM PBB dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar atau perundangan lainnya di negara-negara anggota PBB, agar secara yuridis formal HAM dapat berlaku di negara masing-masing.

Ketika UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Juli 1959, secara yuridis formal, hak-hak asasi manusia tidak lagi lengkap seperti Deklarasi HAM PBB, karena yang terdapat di dalam UUD 1945 hanya berisi beberapa pasal saja, khususnya pasal 27, 28, 29, 30 dan 31. Pada awal Orde baru saja tujuan Pemerintah adalah melaksanakan hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 serta berupaya melengkapinya. Tugas  untuk melengkapi HAM ini ditanda tangani oleh sebuahh panitia MPRS yang kemudian menyusun Rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia serta hak-hak dan Kewajiban warganegara yang dibahas dalam sidang MPRS tahun 1968.
Dalam pembahasan ini sidang MPRS menemui jalan buntu, sehingga akhirnya dihentikan. Begitu pila setelah MPR terbentuk hasil pemilihan umum 1971 persoalan HAM tidak lagi diagendakan, bahkan dipeti-eskan sampai tumbangnya Orde Baru di tahun 1998 yang berganti dengan era Reformasi. Pada awal Reformasi itu pula diselenggarakan sidang istimewa MPR tahun 1998 yang salah satu ketetapannya berisi Piagam HAM.

IV. Komisi Nasional HAM
Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia.
ü  Tujuan Komnas HAM antara lain :
1.       Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
2.       Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan

ü  Wewenang Komnas HAM
Wewenang dalam bidang pengkajian penelitian
1.       Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesibilitas atau ratifikasi
2.       Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
3.       Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian
4.       Studi perpustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi mausia
5.       Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
6.       Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, reginal, maupun internasianal dalam bidang hak asasi manusia




Wewenang dalam bidang penyuluhan
1.       Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia
2.       Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya
3.       Kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, reginal, maupun internasianal dalam bidang hak asasi manusia
4.       Wewenang dalam pemantauan
5.       Pengamat pelaksanaan hak asasi manusia dan penyuluhan laporan hasil pengamatan tersebut
6.       Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengarkanketerangannya
7.       Pemanggilan saksi untuk dimintai keterangan dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan
8.       Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu
9.       Pemanggilan kepada pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan
10.   Pemerikasaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujauan ketu pengadilan
11.   Pemberian pendapat berdasarkan persetujua ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan apabila dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak

Wewenang dalam bidang mediasi
1.       Perdamaian kedua belah pihak
2.       Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi, dan penilaian ahli
3.       Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan
4.       Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditinjak lanjuti penyelesaiannya
5.       Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditinjak lanjuti






V. Hak Asasi Manusia Dalam Perundang-undangan Nasional
            Dalam peraturan perundang undangan RI paling tidak terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.
            Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat, karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen dan referendum. Sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sangsi hokum bagi pelanggarnya. Sedangkan pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.



                                                      BAB II
RULE OF LAW


I. Pengertian dan Ruang Lingkup Rule of Law
Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada Rule of Law. Dalam hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechsstaat atau Rule Of Law. Rechsstaat atau Rule Of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis dari gagasan konstitusionalisme. Oleh karena itu, konstitusi dan negara hukum merupakan dua lembaga yang tidak terpisahkan.
Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua, yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materill (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi( organized public power), misalnya Negara. Sementara itu secara hakiki, rule of law terkait dengan penegakan rule of law karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait dengan keadilan sehingga rule of law harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.  


Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the Law of the Constitution” memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey, terdapat tiga unsur yang fundamental dalam rule of law yaitu :
1.       Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan yang sewenang- wenang dalam arti seseorang Hanya boleh dihukum jikalau memang melanggar hukum.
2.       Kedudukan yang sama di muka hukum, hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat Negara
3.       Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan UU

II. Prinsip-prinsip Rule of Law
Pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian negara hukum atau rechts staat. Meskipun demikian dalam negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam “Introduction to the Law of The Constitution, memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu:
1)      Supremasi aturan aturan hukum,tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum;
2)      Kedudukanmya yang sama dimuka hukum. Hala ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara; dan
3)      Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan pengadilan.
            Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam konstitusi semata. Dengan kata lain negara tidak hanya sebagai “penjaga malam” (nachtwachterstaat). Dalam pengertian seperti ini seakan-akan negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahawa negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak hanya sebagai “penjaga malam” saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial ekonomi.
            Gagasan baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingsstaat, welfare state, social service state, atau “negara hukum materal”. Perkembangan baru inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.
            Dalam hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum Internasional, International Comission of Jurists (ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai negara seperti di Athena (1995), di New Delhi (1956),di Amerika Serikat (1957), di Rio de Jainero (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade disebut sebagai rule of law is a phenomenon of free society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terpenting lagi adalah bagaiman konsep rule of law dapat diimplementasikan sesuai perkembangan kehidupan dalam masyarakat.
            Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial-ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law yang dinamis, yaitu:
1)      Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2)      Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3)      pemilihan umum yang bebas;
4)      Kebebasan menyatakan pendapat;
5)      Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6)      Dan pendidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).
            Gambaran ini mengukuhkan negara hukum sebagai walfare state, karena sebenarnya mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberi kekuasaan dan kemerdekaan bertindak atas dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki fries ermessen atau poivoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dala gagasan walfare state ternyata negara memiliki wewenang yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarhkan fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negar hukum dan rule of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.

III. Prinsip-prinsip Rule of Law secara formal di Indonesia
            Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu sebagai berikut :
a.       Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3)
b.      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan peradilan (pasal 24 ayat 1)
c.       Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1)
d.      Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat sepuluh pasal antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1)
e.      Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2)

Beberapa kasus dan penegakan rule of law antara lain:
a.       Kasus korupsi KPU dan KPUD
b.      Kasus illegal logging
c.       Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA)
d.      Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika
e.       Kasus perdagangan wanita dan anak



#SOURCE



 
girl's zone- Blogger Template by Ipietoon Blogger Template